Gaji Honorer yang Tak Manusiawi: Ketika Guru Dipaksa Bertahan di Tengah Ironi Pendidikan Nasional

 

Oleh: Nendi Iman

Ciamis — zona TV 

Di tengah gegap gempita slogan “Pendidikan adalah pilar kemajuan bangsa,” tersimpan ironi pahit yang menampar nurani: para guru honorer yang berjasa mencerdaskan anak negeri, justru hidup dalam ketidakpastian ekonomi. Mereka berdiri di depan kelas dengan semangat mendidik, namun di luar jam sekolah, sebagian harus bekerja sambilan demi sekadar bertahan hidup. Fenomena ini bukan sekadar potret ketimpangan sistem, melainkan luka sosial yang dibiarkan tanpa penyembuhan.


Guru: Pilar Bangsa yang Ditinggalkan Sistem

Setiap pagi, para guru honorer datang ke sekolah dengan pakaian rapi, membawa buku, papan tulis, dan cita-cita besar untuk murid-muridnya. Namun di balik senyum dan dedikasi itu, tersimpan kenyataan getir: gaji yang tidak sebanding dengan tanggung jawab.

Di berbagai daerah, guru honorer menerima honorarium di bawah satu juta rupiah per bulan—bahkan ada yang hanya dua ratus ribu rupiah. Jumlah yang jelas tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, apalagi untuk hidup layak.

Ironinya, profesi yang seharusnya dimuliakan justru sering diperlakukan layaknya tenaga serabutan. Tidak sedikit guru yang harus berjualan daring, berdagang kecil-kecilan, hingga bekerja sebagai buruh harian untuk menutupi kekurangan. Pemerintah pun kerap berkilah dengan alasan keterbatasan anggaran, seolah pendidikan bisa dinegosiasikan dengan angka.


Pendidikan: Investasi Bangsa yang Diabaikan

Pidato tentang pentingnya pendidikan memang sering terdengar dari podium para pejabat, namun realitas di lapangan berbicara sebaliknya. Anggaran pendidikan yang besar belum tentu menjamin kesejahteraan tenaga pendidik.

Di banyak sekolah pelosok, operasional pendidikan bergantung sepenuhnya pada dedikasi guru honorer. Tanpa mereka, aktivitas belajar mengajar bisa lumpuh. Namun pengabdian itu justru dibayar dengan ketidakpastian status dan gaji yang tak menentu.

Label “honorer” menjadi simbol kebijakan tambal sulam yang diwariskan dari rezim ke rezim tanpa solusi nyata. Jalur seleksi ASN atau PPPK memang dibuka sesekali, tetapi formasi terbatas, proses panjang, dan kerap menyingkirkan mereka yang sudah puluhan tahun mengabdi.

Padahal, pendidikan bukan urusan administrasi semata. Ia adalah investasi peradaban. Dan investasi itu mustahil berhasil tanpa guru yang sejahtera dan bermartabat.


Guru Paruh Waktu: Antara Dedikasi dan Bertahan Hidup

Fenomena “guru paruh waktu” menjadi potret getir dunia pendidikan hari ini. Banyak guru honorer harus mengajar di dua hingga tiga sekolah berbeda, berpindah dari satu kecamatan ke kecamatan lain demi tambahan penghasilan.

Kondisi ini tak hanya menguras tenaga, tapi juga menggerus fokus mereka dalam membimbing siswa. Bagaimana mungkin guru dapat sepenuhnya mengajar dengan hati, jika pikirannya terbagi antara tagihan rumah dan pekerjaan sambilan?

Sistem penggajian yang tidak manusiawi ini menciptakan ketidakadilan struktural yang menggerogoti fondasi pendidikan nasional. Guru seharusnya dihargai bukan hanya karena gelar dan jabatannya, melainkan karena peran dan pengorbanannya dalam membangun karakter bangsa.


Ironi Kebanggaan Nasional

Bangsa ini sering membanggakan prestasi siswa di ajang sains, olimpiade, dan kompetisi internasional. Namun jarang ada yang menyinggung sosok di balik keberhasilan itu—para guru honorer yang mungkin masih menunggak listrik di rumahnya, atau belum mampu membeli seragam baru untuk anaknya sendiri.

Sungguh ironis. Di negeri yang menjunjung tinggi nilai pendidikan, masih banyak guru yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sementara di atas mimbar, para pemangku kebijakan terus berbicara tentang bonus demografi dan generasi emas 2045.

Pertanyaannya sederhana:
Bagaimana mungkin kita bermimpi menjadi bangsa besar, jika guru—pilar utamanya—masih harus berjuang sekadar untuk hidup layak?



Lebih baru Lebih lama