Tasikmalaya, Zona TV
Setiap tahun, Hari Jadi Kota Tasikmalaya dirayakan dengan gegap gempita. Spanduk, festival, karnaval, hingga konser musik menghiasi berbagai sudut kota dalam balutan euforia “pesta rakyat”. Namun pertanyaannya, benarkah ini pesta untuk rakyat, atau sekadar pesta yang menegaskan jarak sosial antara penguasa dan rakyatnya?
Di tengah gemerlap panggung dan seremoni pejabat, terselip realitas lain yang luput dari sorotan: rakyat kecil yang masih berjuang di pasar, buruh harian yang menunggu upah, serta masyarakat miskin kota yang belum merasakan makna pembangunan. Di mana letak esensi “rakyat” dalam pesta yang digelar atas nama mereka sendiri?
Ketua Umum Yayasan Bakti Pemuda Mahakarya Indonesia, Gilang Ferdian, menyoroti fenomena tersebut dari perspektif sosiologi politik. Ia menegaskan, perayaan publik semestinya menjadi ruang ekspresi kolektif rakyat, bukan arena eksklusif kaum elite.
“Yang sering kita saksikan justru sebaliknya, perayaan hari jadi berubah menjadi ajang pencitraan birokrasi dan pemborosan anggaran publik,” ujarnya.
Secara normatif, Gilang mengingatkan Pasal 3 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menekankan bahwa penyelenggaraan pemerintahan daerah harus mengutamakan efisiensi, efektivitas, akuntabilitas, dan keadilan dalam pembangunan.
“Ketika anggaran daerah lebih banyak terserap untuk kegiatan seremonial tanpa memberi dampak nyata bagi kesejahteraan rakyat, itu merupakan bentuk penyimpangan orientasi pemerintahan,” imbuhnya.
Hal tersebut juga sejalan dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang menegaskan bahwa setiap penggunaan APBD wajib memenuhi prinsip kemanfaatan bagi masyarakat luas. Menurutnya, kegiatan seremonial yang hanya memanjakan kalangan menengah ke atas jelas tidak memenuhi asas tersebut.
Gilang kemudian menyinggung teori keadilan sosial John Rawls, yang menggariskan bahwa kebijakan publik harus memberikan manfaat terbesar bagi kelompok yang paling lemah (the difference principle).
“Ketika rakyat miskin justru menjadi penonton dari kemeriahan yang dibiayai uang mereka sendiri, maka negara telah gagal menjalankan mandat moralnya,” tegasnya.
Ia juga mengutip adagium hukum publik klasik salus populi suprema lex esto—kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi.
“Jika perayaan hari jadi hanya mempertebal batas sosial dan menonjolkan euforia elite, maka hukum moral itu telah dilanggar. Pemerintah daerah seolah kehilangan arah moral dan terjebak dalam politik simbolik—menjual kemeriahan tanpa menyentuh kesejahteraan,” ujarnya.
Tasikmalaya yang dikenal sebagai Kota Santri, lanjut Gilang, seharusnya menjiwai etika pemerintahan yang sederhana, berempati, dan berkeadilan.
“Namun realitas hari ini justru menunjukkan sebaliknya. Pesta megah kerap mengalahkan kepedulian sosial,” katanya.
Ia pun mengutip sabda Rasulullah SAW:
“Tidaklah beriman seseorang yang kenyang sementara tetangganya kelaparan di sampingnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurutnya, kepekaan sosial adalah bagian dari moralitas kepemimpinan.
“Ketika pemimpin lebih sibuk berpidato di atas panggung sementara rakyatnya masih lapar, maka moral publik sedang runtuh,” tambahnya.
Paradigma Pembangunan yang Berkeadilan
Gilang Ferdian mendesak Pemerintah Kota Tasikmalaya untuk meninjau ulang paradigma pembangunan dan pola perayaan daerah. Ia mengacu pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Pasal 2 ayat (3), yang mengamanatkan bahwa perencanaan pembangunan harus berorientasi pada keadilan dan pemerataan.
“Segala bentuk kegiatan pemerintah, termasuk perayaan hari jadi, seharusnya diarahkan untuk memperkuat kesadaran kolektif dan kesejahteraan sosial, bukan sekadar tontonan yang menghibur segelintir orang,” tuturnya.
Ia juga mengingatkan isi Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.”
“Maknanya jelas—negara tidak boleh abai terhadap penderitaan rakyat, apalagi ketika uang rakyat digunakan untuk hura-hura,” tegasnya.
Menurut Gilang, perayaan Hari Jadi Kota Tasikmalaya seharusnya menjadi refleksi kolektif, bukan sekadar seremoni administratif. Pemerintah perlu menempatkan rakyat bukan sebagai penonton, tetapi sebagai subjek utama pembangunan dan kebahagiaan kota.
“Cinta kepada kota bukan diwujudkan dengan pesta yang meninabobokan, melainkan dengan kebijakan yang menyejahterakan, berpihak pada yang lemah, dan berani berbenah,” ujarnya.
Ia menutup pernyataannya dengan seruan moral:
“Sudah saatnya Tasikmalaya berhenti menutupi luka sosial dengan panggung hiburan. Kemajuan sejati tidak diukur dari meriahnya perayaan, melainkan dari seberapa banyak warga yang bisa hidup layak, adil, dan bermartabat.”
(Santi Nurmayanti / SN)
